Masih Doyan Makan Haram…??
Di antara hal yang sering kita lihat terjadi saat ini adalah banyaknya orang yang terlalu menganggap remeh memakan harta yang haram, hal ini sesuai dengan apa yang telah diperingatkan oleh ash shoodiqul mashduuq (yang benar lagi dibenarkan) di dalam sebuah sabdanya:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yang seseorang tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang) haram.” (HR Bukhory)
Penghasilan haram, bahkan sudah menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat Negri ini. Padahal, karena besarnya akibat buruk dari memakan harta haram, para salafush sholih, generasi terbaik ummat ini, sangat-sangat teliti dengan kehalalan harta, ataupun makanan mereka.
Dari Za’id bin Arqam rodhiyallohu ‘anhu dia berkata, ”Sesungguhnya Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki seorang hamba sahaya yang mengkhianatinya. Pada suatu malam, hamba sahaya itu datang dengan membawa makanan. Maka, Abu Bakar memakan sesuap dari makanan yang dibawa oleh hamba sahaya tersebut. Setelah itu hamba sahaya itu berkata, “Mengapa engkau setiap malam selalu bertanya kepadaku (tentang asal makanan yang ia bawa), namun pada malam hari ini, engkau tidak melontarkan satupun pertanyaan?” Abu Bakar menjawab, “Hal itu disebabkan karena aku merasa sangat lapar. Dari manakah kamu mendapatkan makanan ini?” Hamba sahaya itu berkata, “Dulu aku pernah melewati sekelompok orang jahiliyyah, lalu aku membacakan mantera kepada mereka, sehingga mereka berjanji (untuk memberi sesuatu) kepadaku. Pada hari inilah, ketika aku melewati mereka lagi, ternyata mereka sedang memiliki sebuah acara pernikahan. Akhirnya, mereka memberiku makanan.” Abu Bakar berkata, “Celakalah kamu ini, hampir saja kamu membuatku binasa (lantaran makanan yang tidak halal itu)!” Maka, Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam kerongkongannya dan mulai akan muntah. Namun, sesuap makanan itu tidak juga mau keluar dari kerongkongannya. Lalu ada yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya makanan itu tidak akan keluar kecuali dengan bantuan air.” Akhirnya, Abu Bakar minta diambilkan air dari sebuah wadah. Dia pun meminum air tersebut sampai berhasil memuntahkan makanan itu. Lalu Abu Bakar ditanya, “Semoga Alloh melimpahkan rahmat kepadamu. Apakah semua ini gara-gara sesuap makanan itu?” Abu Bakar menjawab, “Seandainya makanan itu tidak bisa keluar kecuali bersama nyawaku, maka aku pasti tetap akan mengeluarkannya juga. Aku telah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Setiap jasad yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih berhak baginya.’ Oleh karena itu, aku merasa khawatir kalau ada sesuatu yang haram tumbuh di dalam jasadku dari sesuap makanan itu.”
Diriwayatkan juga, bahwa Umar bin Al Khathab rodhiyallohu ‘anhu melakukan hal serupa dengan apa yang telah dilakukan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu. Sebagaimana disebutkan Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman, bahwa beliau meminum segelas susu, hingga beliau merasa takjub dengan rasanya. Lalu beliau bertanya kepada si pemberi susu itu, dari mana ia memperoleh susu itu. Ia menjawab bahwa susu itu diambil dari onta sedekah. Setelah mengetahui demikian, Umar segera memasukkan jarinya ke dalam kerongkongan, agar apa yang telah ditelannya termuntahkan.
Ibnul Mubarak berkata, “Sungguh aku mengembalikan harta satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih aku cintai dari pada bersedekah dengan seratus ribu”.
Demikianlah, para salafush sholih, para sahabat rodhiyallohu ‘anhum yang mendapatkan pendidikan langsung dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, serta para ulama generasi abad ke 2 dan ke 3, yang disebut Rosululloh sebagai sebaik-baik generasi. Mereka memahami, bagaimana bahayanya barang haram untuk dikonsumsi, hingga ketika makanan haram terlanjur masuk ke dalam perut, mereka berusaha untuk mengeluarkannya. Bagaimana dengan kita?
Akibat Memakan ataupun Menggunakan Barang Haram
- Menghalangi Perbaikan Jiwa
Mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik akan memberikan pengaruh baik yang signifikan dalam proses pembersihan jiwa. Begitupun sebaliknya, makanan haram juga bisa memberikan pengaruh buruk dalam proses perbaikan jiwa. Tak heran, jika saat ini banyak orang yang sangat sulit menerima nasehat. Sedikit yang bermuhasabah, lalu memperbaiki diri. Salah satu penyebabnya adalah memakan makanan haram. Alloh ta’ala berfirman tentang orang-orang Yahudi:
…أُوْلٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيُُ وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمُُ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ …
“…mereka itu adalah orang-orang yang Alloh sudah tidak berkehendak untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat mereka mendapat adzab yang besar. (Mereka itu adalah) orang-orang yang sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram (seperti uang suap dan sebagainya)…” (QS Al Maidah, ayat 41-42)
Maka, bagaimana mungkin Alloh ta’ala mau membersihkan jiwa orang yang suka memakan harta haram, yang keadaannya sangat mirip dengan keadaan orang-orang yahudi tersebut?
- Alloh ta’ala Tidak Menerima Amal Shaleh Yang Dibiayai Dari Harta-Harta Yang Haram
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Alloh itu baik, tidak menerima kecuali yang baik…” (Shohih Muslim, 2/73 no: 1015)
Dari Hadits di atas, dapat kita fahami bahwa tak semua amal yang dilakukan oleh manusia, diterima oleh Alloh ta’ala. Jadi setiap orang yang beramal seharusnya juga memperhatikan baik tidaknya amal tersebut, halal haramnya juga. Di dalam hadits di atas Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menegaskan seperti apa amal yang diterima Alloh ta’ala itu, yaitu hanya amal yang baik dan yang bersih saja. Sedangkan amal yang tidak baik dan bercampur dengan hal-hal yang haram dan kotor, dipastikan amal itu tidak akan diterima oleh Alloh ta’ala.
Ada sebagian orang berprasangka, bahwa uang haram yang dia peroleh selama ini, bisa dibersihkan dengan cara ia infaqkan ke jalan Alloh ta’ala, atau ia pakai untuk biaya umroh dan haji. Pandangan seperti ini jelas keliru dan jelas-jelas bertentangan dengan hadits tersebut.
Harta yang diperoleh dari sumber yang kotor atau tidak halal, tidak akan bisa dibersihkan dengan cara apapun. Ia tidak akan menjadi bersih dengan dibawa haji atau umroh, atau disedekahkan sebagian kepada anak yatim. Satu-satunya jalan untuk membersihkan harta yang tidak halal adalah dengan mengembalikannya kepada sumber asalnya. Jika ia berasal dari uang Negara atau uang rakyat, maka dikembalikan kepada Negara atau rakyat. Bila ia berasal dari uang milik pribadi seseorang, maka harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jadi tidak ada sistem cuci uang dalam Islam. Yang haram, tetap haram, dan ia tidak akan dipandang dan diterima oleh Alloh ta’ala.
- Menjadi Sebab Tertolaknya Doa
Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu Berkata:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبُّ يَا رَبُّ, وَ مَطْعَمُهُ حَرَامٌ و مَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَ مَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَ غُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنىَّ يُسْتَجَابُ لَهُ
“…kemudian beliau (Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam) menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Robku, ya Robku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana (orang seperti ini) dikabulkan doanya.” (HR Muslim)
Dalam hadits di atas dijelaskan, pada dasarnya setiap hamba Alloh wajib memanjatkan doa kepada Alloh ta’ala agar ia senantiasa berada dalam lindungan dan pemeliharaan Alloh ta’ala. Demikian juga untuk menutup segala kebutuhannya. Namun dalam berdoa, seharusnya diperhatikan pula berbagai persoalan yang terkait dengan doa, seperti apa saja yang membuat doa agar diijabah oleh Alloh ta’ala.
Begitu juga sebaliknya, ada hal-hal yang membuat doa seseorang terhalang dan tidak terkabul. Doa siapakah itu? Salah satunya, doa orang yang disebutkan di dalam hadits di atas; doa orang yang sumber kehidupannya berasal dari yang haram. Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, “makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana (orang seperti ini) dikabulkan doanya.”
Kenapa demikian? Karena pekerjaan yang memberinya hasil adalah pekerjaan haram. Disinilah setiap orang harus melakukan introspeksi, apakah pekerjaannya sekarang termasuk yang dihalalkan, atau justru yang diharamkan. Semua ini memerlukan kejujuran. Dan semua harus diukur dengan timbangan syari’at Islam dan ditanyakan kepada yang ahlinya, yang jujur. Apabila ternyata pekerjaan itu tergolong pekerjaan yang diharamkan, maka seharusnya seorang muslim tidak ragu-ragu untuk melepaskannya dan mencari pekerjaan lain yang halal, kendatipun hasilnya lebih kecil dari yang sebelumnya. Yang harus dijadikan standar adalah kualitas pencaharian (halal atau haram), bukan jumlah yang dihasilkan (banyak atau kecil).
- Sarana Masuk Neraka
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلىَ بِهِ
“Sesungguhnya, tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.” (Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh at Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab al Sholat Bab Fadhlu Sholat, no. 614 dari Ka’b bin ‘Ujroh pada sebagian dari hadits panjang. Abu ‘Isa al-Tirmidzi berkata, ”Hadits ini hasan gharib” dan dishohihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir dalam komentar beliau terhadap Sunan at Tirmidzi, hal. 2/515 dan al Albani dalam Shohih Sunan at Tirmidzi, no. 501).
Berhati-hatilah, yang menggunakan uang rakyat untuk memenuhi nafsunya. Yang membelanjakan uang hasil korupsi untuk kepentingannya sendiri. Yang tak pernah mempersoalkan kehalalan pekerjaannya. Yang tanpa pikir panjang menggunakan harta yang bukan haknya, harta titipan lah, atau pun harta yang diamanahkan kepadanya. Karena, balasan yang setimpal akan selalu menunggu.
Wallohu a’lam